JANGAN JADI HAKIM KALAU SEKEDAR JUALAN BUKU - LEBIH BAIK MENYALAKAN LILIN DARIPADA MENGUTUK KEGELAPAN. Tidak ada komentar: Posting Komentar. Posting Lama Beranda. SEARCH.
24 "Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan." 25. "Orang yang memindahkan gunung dimulai dengan membawa batu-batu kecil." 26. "Untuk memiliki prinsip, pertama miliki keberanian." 27. "Jika kamu selamat dari badai, kamu tidak akan terganggu oleh hujan." 28. "Godaan untuk berhenti akan menjadi yang terbesar, tepat sebelum kamu
WARTA KOTA, PALMERAH - “It is better to light a candle than curse the darkness.” Peribahasa tersebut secara harfiah memiliki arti “Lebih baik menyalakan sebuah lilin daripada mengutuk kegelapan”. Peribahasa ini telah terkenal sekali di seluruh dunia. Presiden Amerika John F Kennedy pun pernah menggunakan dalam pidatonya. Di Indonesia, peribahasa ini pun kembali terkenal semenjak Anies Baswedan menggunakannya sebagai tagline dalam program Indonesia Mengajar. Sebuah program yang mengirimkan sarjana-sarjana pintar ke pelosok Indonesia untuk membantu peningkatan mutu pendidikan di negara ini. Dalam konteks pemerintahan daerah, penulis begitu tergelitik ketika salah satu pemimpin daerah di negeri ini menyampaikan hal tersebut sebagai motto dalam menjalankan pemerintahannya. Dalam sebuah apel pagi dan berita media lokal, KH DR M Idris Abdul Somad, Wakil Walikota Depok 2011-2016 dan Walikota Depok terpilih 2016-2021 begitu gamblang mengulas tentang peribahasa tersebut hingga menginspirasi para peserta apel pagi termasuk penulis. Rupanya materi peribahasa ini menjadi bahan diskusi inspiratif dan solutif bagi kita semua warga yang kini tengah menantikan kiprah kepemimpinan para pemimpin daerah. Pilkada serentak kini telah kita lalui. Beragam fenomena, dinamika, paradigma dan spektrum politik dapat menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua. Salah satu paradigma yang masih sering terjadi adalah budaya dan kesenangan kita yang selalu mengeluh, mencaci, merasa tidak puas, menyalahkan bahkan “mengutuk” kebijakan pemimpin tanpa memberikan solusi dan tidak menyelesaikan masalah tersebut. Dalam hidup bermasyarakat, kita begitu mudah menyalahkan orang lain atas kekurangan yang ada dalam hidup ini. Tapi seringkali kita lupa bercermin kalau kita belum berbuat sesuatu untuk hidup ini, atau ketika ada masalah kita selalu menyalahkan faktor eksternal. Tanpa kita sadari apa yang kita lakukan tersebut takkan bisa mengubah situasi. Kita cuma ibarat komentator sepakbola yang sebenarnya juga tak bisa bermain bola dengan baik. Tidak sedikit dari kita yang tersibukkan dengan mengamati pekerjaan orang lain, bukan untuk mengambil ibroh/pelajaran atau membantu menyelesaikan pekerjaannya tetapi justru untuk menunggu kapan orang itu terpeleset dalam kekeliruan atau melakukan kesalahan sehingga ia bisa segera mengkritik dengan kritikan yang tidak jarang melebihi batas yang proporsional. Mengecam pekerjaan orang tanpa memberinya solusi juga tidak jarang hanya akan merenggangkan persaudaraan.
Lebihbaik mulai menyalakan lilin dari pada sibuk mengutuk kegelapan Diposting oleh Dindin di 10.04 1 komentar: Beranda. Langganan: Postingan (Atom) Apa yang anda inginkan disaat suasana hati dan pikiran sedang jenuh. Album. Accepted. Arsip Blog. April (1) Penulis. DindinKompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Disaat semua terasa buntu, disaat harapan terasa begitu amat jauh... bukan berarti kiamat sudah dekat. Tapi saat itu Alloh sedang mendekat bicaralah padaNYA..."Gusti, please aku mohon bantuanMU". Tidak perlu mendikte Alloh dengan minta ini dan itu, karna Dia maha memahami. Jangan mengeluh, karna itu hanya akan menambah beban berat kinerja otak dan liver. Selalu ingat yang simbok katakan, "lebih baik menyalakan lilin...daripada mengutuk kegelapan"...Gustiku, pagi ini aku sedang emosi jiwa tingkat mohon bantuanMU redakan emosi ini. Lihat Catatan SelengkapnyaTHERUSBA 555 (@therusba555) di TikTok | 465 Suka. 152 Penggemar. Lebih baik menyalakan lilin, daripada harus mengutuk kegelapan ALAT bangun peradaban dalam dunia ketiga adalah satu, sadar baca-tulis. Sentuhan jemari dalam tulisan ini akan bermuara pada satu pembahasan, menggagas ke depan. Apa yang perlu digagas? Siapa yang harus mengawal? Agaknya tulisan ini Sedikit terdengar seperti nada bicara seorang pengidap asma yang berbau utopis. Tidak masalah. Bukankah perubahan-perubahan besar dalam dunia praktis berawal dari ide dan pemikiran; gagasan dan kemauan besar untuk berubah dan mewujudkan. Steve Covey aku-lirik dengan kalimatnya yang seperti berbau sarkasme tercium seperti berikut, “Apa yang akan kau tinggalkan di antara kedua patok nisanmu?”, atau kutipan dari penyair nasional dari Jombang, Sabrank Suparno dengan puisinya yang berucap, “Penulis tak akan lenyap dari dunia, sebaliknya dunia bisa lenyap dalam diri penulis.” Maka tamsil yang lahir dari kedua kutipan tersebut adalah hal sangat mungkin bila kita kontekskan bagi masyarakat Nahdlatul Ulama NU dalam upaya pengembangan kebudayaan dan peradaban. Pendek kata, warga NU sudah semestinya kembali dan kembali memaksimalkan sadar baca-tulis, SABTU. Sebab hal ini secara umum akan menjadi wasilah kebudayaan yang berpotensi mengangkat inteligensi dalam peradaban manusia. Tentu kekuatan pergulatan budaya Sabtu memiliki filosofi yang menghistoris. Pentingnya budaya baca-tulis dalam kehidupan NU menjadi tantangan dan peluang besar yang –mungkin—akan berkontribusi atas perubahan kebudayaan di Indonesia. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari misalnya, aku-lirik memiliki kebiasaan membaca dan menulis yang luar biasa. Mengapa kita tidak membaca dan menulis? Kita sering mengagumi beliau tetapi lupa mengikuti kebiasaan beliau yang luar biasa dampaknya terhadap peradaban Islam dan Indonesia. Berkaca pada Jepang, Eko Laksono dalam banyak tulisannya berucap, “Bangsa Jepang adalah pembaca terhebat di dunia. Elizabeth I, Napoleon, Hitler, Carnegie, Akio Morita, dan Bill Gates semuanya pembaca.” Di Jepang, antara pemerintah, sekolah, masyarakat, dan keluarga bergerak bersama untuk membudayakan baca-tulis. Tradisi ujian nasional misalnya, di Jepang justru merupakan budaya yang dinanti bukan sebaliknya dipersoalkan. Saat itulah, maka anak-anak usia 12-13 tahun belajar keras sampai larut malam, sampai-sampai tidur dalam semalam hanya 2-3 jam per hari. Itu pun, berlangsung hampir tiga bulan. Ujian nasional di Jepang dikenal dengan nama Shiken Jigoku Neraka Ujian. Belum lagi, ibu-ibu di Jepang meskipun mereka terdidik rata-rata sarjana bahkan sampai bergelar doktor, lebih memilih mendampingi anak-anak belajar di rumah. Di Jepang dikenal dengan apa yang disebut Kyoiku Mama Ibu Pendidikan. Mereka akan meneliti dengan cermat apa yang telah dipersiapkan, dilakukan, dan dihasilkan oleh anak-anaknya. Mereka mempelajari bahan-bahan pelajaran sekolah dan mendampingi anak. Mari belajar budaya baca-tulis bangsa Jepang. maka ada pokok-pokok pengalaman yang aku-lirik sangat menarik. Pertama, budaya membaca di Jepang luar biasa. Indikasinya, banyak toko buku yang tersebar. Ini terkait dengan sifat tekun, pekerja keras, dan keinginan untuk selalu belajar. Jumlah toko buku di Jepang sama banyaknya dengan jumlah toko buku di Amerika Serikat AS. Ironisnya, negeri adidaya itu 26 kali lebih luas dan dua kali berpenduduk lebih banyak daripada Jepang. Kedua, kuatnya tradisi belajar dan membaca. Keinginan selalu belajar telah tertanam kuat pada warga Jepang. Ini didasarkan pada kebiasaan i sifat selalu memperbaiki hasil kerja, dan ii adanya budaya baca-tulis yang mengakar besar di Jepang. Negeri Sakura menyediakan banyak fasilitas membaca di tempat umum. Di stasiun, bus umum, kereta, atau halte, antre di kantor-kantor pelayanan masyarakat, mudah ditemui orang-orang yang beraktivitas membaca. Ketiga, kuatnya dukungan fasilitas membaca. Fasilitas baca-tulis mudah dijangkau oleh warga Jepang. Kebahagiaan bagi penulis dan penerbit buku. Ternyata, sesuai dengan data yang dirilis Bunka News, jumlah toko buku bekas menempati persentase sepertiga di antara total jumlah toko buku di Jepang. Keberadaannya dinilai sebagai penolong bagi para peminat buku. Keempat, keluarga sebagai penyangga tradisi baca-tulis. Sebagaimana telah disinggung di awal, bahwa orang tua di Jepang khususnya ibu mendampingi dan ikut mempelajari apa yang sedang dipelajari anaknya. Alangkah indahnya jika ini terjadi di Indonesia. Kelima, penghargaan yang tinggi oleh pemerintah dan masyarakat. Kondisi demikian menjadi sangat penting mengingat budaya baca-tulis Jepang itu telah mengakar dari atas ke bawah. Baik itu pemimpin, birokrat, guru, dosen, artis, dan pelaku seni lainnya; semuanya memiliki kecintaan yang sama terhadap budaya baca-tulis. Belajar dari pengalaman inspiratif negara Jepang maka merindukan tradisi Sabtu, di kalangan NU menjadi mimpi besar yang membutuhkan dukungan semua pihak. Semua elemen, semua unsur, dan semua aspek yang ada di NU. Mimpi besar budaya ini tentu secara historis bersifat Islami dan secara global merupakan tuntutan zaman yang tidak bisa dihindari. Membudayakan baca-tulis yang aku-lirik sesungguhnya tidaklah sulit mengingat keduanya merupakan keterampilan. Kemahiran sebuah keterampilan hanyalah hukum kali dari berapa sering kita melakukannya. Akselerasi kemahiran baca-tulis dengan sendirinya menuntut frekuensi optimal jika menginginkan hasilnya maksimal pula. Masyarakat berbudaya baca-tulis akan menjadi aset besar bagi suatu bangsa. Maka mari menyalakan lilin berawal dari ide dan pemikiran; gagasan dan kemauan besar untuk berubah dan mewujudkan. Daripada mengutuk kegelapan NU dengan anggapan-anggapan basis NU hanya pada kegiatan-kegiatan spiritual-spiritual semata; pengajian demi pengajian, dan lain-lain yang mengakar rumput lainnya. Mari nyalakan! * * Aktivis rebahan di PASCA Tahfidzul Qur’an Sukorejo. EleanorRoosevelt merupakan seorang politisi, diplomat, dan aktivis Amerika. Ia juga merupakan istri dari Franklin D. Roosevelt dan tercatat sebagai First Lady yang mengabdi dengan waktu paling lama, dari 1933 sampai 1945 selama 4 periode pengabdian Franklin D. Roosevelt.. Selama masa kepresidenan Franklin D. Roosevelt, Eleanor Roosevelt memberikan konferensi pers dan menulis kolom berita. Lilin dan Kegelapan By Dimas Prakoso “Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.” – Eleanor Roosevelt Mengutuk kegelapan terkadang hanya dilakukan oleh orang-orang yang banyak menghabiskan waktunya untuk mengeluh tanpa ada aksi lebih lanjut. Lebih baik skip waktu untuk mengeluhnya dan mulai bertindak dengan menyalakan lilin. Mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah dan memberikan apa yang kita inginkan, soalnya. Terima kasih telah mengingatkan tentang ini, Eleanor Roosevelt. Lebih Baik Menyalakan Lilin Daripada Mengutuk Kegelapan", begitu dalih pembela kenaikan bayaran Listrik yg mencekik rakyat. Kalau gelapnya malam ya kita tidak boleh mengutuk. Sebab itu sudah Sunnatullah yg tak akan bisa dirubah manusia. Padahal dollar saat itu Rp 10.000. Sekarang Rp 13.500. Jadi kalau standard sekarang, paling Rp 675/kwh Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Betapa mudahnya kita mengutuk, tinggal menyebutkan beberapa suku kata yang masuk blacklist akismet atau filter yahoo maka jadilah kita pengutuk sejati. Objeknya beraneka ragam, mulai dari pekerjaan yang menumpuk , gaji yang telat dibayar, didahului mantan merit kalau istilah Makassar nya dilambung kiri pas belokan tidak pake riting dan weser, hujan, cucian belum kering, macet, becek, gak ada ojek, dan lain sebagainya. Pokoknya segala rupa masalah yang kita hadapi sehari-hari mulai dari masalah yang berat dan membuat otak koslet sampai urusan remeh temeh misalnya sakitnya bulu hidung ketika dicabut. Yap, semua hal berpotensi untuk kita keluhkan. Mengutuk, meratapi, mengeluh atau apapun istilah lainnya dengan konotasi yang sama memang menyenangkan. banyak orang merasa lepas dan lega setelah mengeluarkan semua kosakata itu dari mulutnya. Tapi tunggu dulu, apakah setelah kita mengutuk sesuatu maka keadaan itu langsung berubah? Dari pengalaman hidup kita, mengeluh tidak mendatangkan apa-apa kecuali ketenangan batin yang semu. Ibaratnya ketika menutup mata, semua bayangan dunia menjadi tak terlihat termasuk dengan problema yang kita alami, namun dunia akan tetap sama entah ketika menutup atau membuka mata. Dalam suatu masalah, kita sering mencari-cari kambing hitam dari adanya masalah itu. Dengan demikian, kita bisa lari dan lepas diri dari masalah. Bukan solusi, malah bisa menambah masalah baru. Dalam sebuah ujian atau musibah, kita sering menyalahkan kondisi, menyalahkan diri sendiri, dan orang lain. Dan, sering terlarut dari suasana kegelapan ujian atau musibah itu. Lalu apa yang harus kita lakukan? Seorang bijak pernah berkata would rather light a candle than curse the darkness [1962 Adlai Stevenson in New York Times 8 Nov. 34] Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Sebuah kalimat lugas yang diucapkan oleh Adlai Stevenson yang dialamatkan untuk Eleanor Roosevelt begitu sarat akan makna. Ibaratnya ketika kita berada dalam kegelapan, sampai berbusa mulut kita mengumpat dan merutuk, tak akan ada perubahan sampai kita menyalakan sebatang lilin atau alat penerangan lainnya. Berbuat lebih baik daripada sekedar berkata-kata, walaupun dengan kata-kata itu hati dan pikiran cenderung menjadi tenang karena emosi sedikit tersalurkan tetapi jauh lebih baik dan berbahagia kalau masalah itu bisa kita selesaikan sendiri. Walaupun sebatang lilin kecil yang menyala, itu sudah cukup membuat perbedaan dibandingkan kita berdiam diri dalam kegelapan. Lihat Pendidikan Selengkapnya
JANGAN JADI HAKIM KALAU SEKEDAR JUALAN BUKU - LEBIH BAIK MENYALAKAN LILIN DARIPADA MENGUTUK KEGELAPAN. Tidak ada komentar: Posting Komentar. Posting Lama Beranda. SEARCH.